Monday 23 May 2016

Milik Pribumi (Label Penyelamat Non-pribumi Pada Tragedi Mei 1998)




(Tulisan “pribumi” sisa kerusuhan 98 yang sampai saat ini masih terpampang di sebuah toko / photo: Hujan Sutedja)



Mei 1998 menjadi sebuah catatan hitam bagi bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa telah terjadi sebuah huru-hara besar yang terjadi di negara ini. Berbagai tindakan anarkis seperti penjarahan, pembakaran, bahkan hingga pemerkosaan terhadap warga negara Indonesia keturunan tionghoa pun secara terang-terangan terjadi dengan begitu kompulsif dan massif dimana-mana tanpa adanya lapisan keamanan yang membentengi anarkisme massa yang memuncak pada 13-15 Mei 1998. Kerusuhan utama terjadi di Medan, Jakarta, dan Surakarta, target utama dari kerusuhan ini adalah pusat-pusat perbelanjaan dan ruko-ruko pertokoan yang dianggap sebagai milik etnis tionghoa. Semua terlihat seperti dibiarkan saja bak singa-singa yang dilepas oleh kelompok sirkus dari kandangnya dan kemudian dibiarkan membabi buta menerkam dan melahap para penonton pertunjukan tanpa adanya sedikitpun tindakan dari sang pawang singa-singa tersebut, sungguh mencekam dan sangat mengerikan. Sebenarnya informasi tentang kerusuhan pada masa itu telah menyebar dan berbisik di kuping masyarakat luas terutama bagi mereka para pengusaha besar yang gedungnya berlantai-lantai hingga pengusaha kecil yang bertetanggaan di kios-kios pasar ataupun pertokoan pinggir jalan. Mereka yang setiap pagi dengan perasaan resah selalu mencari kabar terbaru dari aksara-aksara yang berserakan di lembaran-lembaran koran, suara-suara selintas dengar yang mengudara di saluran-saluran radio, atau dari sebuah tabung kotak 14 inch yang ajaib karena mampu menyajikan gambar bergerak sekaligus dengan suara dan tulisan tentang kabar teraktual yang terjadi dibelahan dunia manapun menjadi satu paket penyiaran. Tapi tetap, kabar tentang keadaan terbaru bangsanya sendiri lah yang lebih bisa menarik kedua pasang bola mata mereka dibanding berita-berita dengan judul serba-serbi Piala Dunia Perancis yang akan berlangsung satu bulan kemudian, ataupun berita tentang sebuah gempa bumi besar sekitar 7,7 skala richter yang menghantam lokasi penemuan Piramida Yonaguni di Laut Jepang. Entah ide dari siapa dan dari mana, tulisan bernada rasis “Milik Pribumi” seakan menjadi sebuah label penyelamat bagi para pemilik toko di kios-kios pasar dan di pertokoan pinggir jalan pada masa itu. Tulisan ini seakan mempunyai aura magis yang sangat besar bahkan dipercaya lebih kuat ketimbang garda barisan terdepan TNI yang berjaga di depan gedung DPR/MPR RI pada waktu itu. Tak perduli pribumi atau pun bukan, cukup bermodal sekaleng pilox dan sedikit kemampuan menulis di rolling door toko dengan kalimat “Milik Pribumi” yang memang bernada rasis itu maka niscaya toko tersebut tidak akan disentuh sedikitpun oleh para penjarah. Entah apa juga yang ada di peta benak orang Indonesia pada masa itu, mungkin bagi mereka haram hukumnya jika menjarah, membakar, ataupun memperkosa orang-orang dari kalangan “Pribumi”, tapi halal hukumnya jika mereka melakukan semua tindakan anarkisme itu pada manusia-manusia yang non-pribumi. Alhasil banyak dari para pemilik toko yang bukan pribumi pun ikut mencorat-coret rolling door tokonya masing-masing dengan tehnik corat-coret yang tidak sebagus hasil tangan Liu Xiaodong yang seringkali menggambarkan tentang unsur-unsur kehidupan yang merakyat pada lukisannya, tapi mereka hanya menulis sebuah tulisan yang dipercaya ampuh dan manjur untuk menangkal tindak anarkisme massa yaitu “Milik Pribumi” dengan tangan bergemetar karena tingkat ketakutan yang tinggi dan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari irama beat-drum musik punk. Sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka (non-pribumi) memilih untuk meninggalkan ibu kota untuk sementara waktu hingga situasi di ibu kota kondusif kembali. 

“Bocor, sebenernya informasinya sudah bocor, sebelum kerusuhan itu kita sudah dikasih tahu. Kacau banget ya waktu itu, saya sama keluarga cari aman saja kita semua tutup toko terus pulang kampung. Pokoknya keluar dulu deh dari Jakarta, baru setelah situasinya normal lagi kita balik lagi”, tutur Rudi seorang pemilik toko perhiasan yang sempat merasakan langsung suasana mencekam pada Mei 1998 di ibu kota.

Sungguh fungsional tapi aneh memang, dan jelas ini nyata terjadi pada masa itu. Kata “Milik Pribumi” ini menjadi sebuah pembeda, penanda identitas, meski sama sekali tidak otentik karena siapapun bisa menyemprotkan tinta ke dinding-dinding toko dengan tulisan yang sama yaiitu “Milik Pribumi”. 

“iya kita cat pintu toko pake tulisan itu (milik pribumi) soalnya kan waktu itu yang diincar itu kan toko-toko, banyak disini waktu itu yang ngecat pintu tokonya karena takut dijarah kan. Dan bener emang kita ga kena jarah cuma kaca-kaca di bagian depan-depan gedung pasar ini pada pecah, ada yang dibakar juga tuh yang dibagian belakang. Cuma sekarang udah di renovasi ya jadi udah di cat ulang semua disini tokonya jadi udah bagus lagi, tulisan-tulisannya juga udah ga keliatan lagi. Paling Cuma gedung-gedung bekas dibakar itu ya yang masih dibiarin begitu aja tuh yang ruko-ruko di depan jalan raya sana. Ramayana juga dulu dibakar tuh tapi sekarang udah di renovasi dia udah bagus lagi”, lanjut Rudi yang toko perhiasannya masih bertempat di titik yang sama dari dulu hingga saat ini di sebuah pasar konvensional di Cengkareng Jakarta Barat.




(Bangunan pertokoan yang hancur akibat kerusuhan tahun 1998 / photo: Hujan Sutedja)

(Bangunan pertokoan yang hancur akibat kerusuhan tahun 1998 / photo: Hujan Sutedja)

Berbeda dengan tragedi holocaust yang terkenal dengan genosida pada masa kepemimpinan Jerman Nazi, sebuah program pembasmian massal terhadap penganut Yahudi Eropa selama Perang Dunia II dengan begitu sistematis dan apik sehingga mendapat kutukan dan kecaman keras dari berbagai negara-negara di seluruh dunia. Begitupun dengan yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998, seperti ada sebuah peniruan yang dilakukan oleh rakyat pribumi terhadap warga negara Indonesia keturunan tionghoa atau yang biasa disebut “orang cina” karena dianggap sebagai kelompok non-pribumi oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai manusia-manusia pribumi, entahlah apa yang membedakan, mungkin manusia-manusia pribumi merasa mereka dilahirkan oleh satu nenek moyang yang sama di atas tanah dan batu yang sama sehingga mereka merasa lebih berhak berdiri di atas tanah kelahirannya bersama manusia-manusia lain sejenisnya yang memiliki ciri-ciri fisik sama dan merasa sebagai kelompok pewaris resmi karena lebih lama tinggal di Tanah Air Indonesia. Ya entahlah karena itu hanya sekedar “entahlah” dari sisi keheranan yang saya miliki dalam memandang peristiwa tragis ini. Meskipun skalanya tidak sebesar tragedi holocaust, namun gerakan-gerakan anti-cina ini gencar sekali dilakukan pada masa itu. Bahkan sampai saat ini pun kata “Cina” yang berkonteks pada manusia pun masih menjadi sebuah kata yang berkonotasi negatif dan sarkas. Berbeda dengan kata “Cina” yang merujuk pada hal lain selain manusia, misalnya petai cina, film cina, obat cina, motor cina (produk buatan RRC), dan sebagainya. Kata-kata semacam itu akan terdengar biasa saja, berbeda dengan kata “orang cina”. 

Mendengar tahunnya saja, 1998, pasti yang terlintas di isi kepala orang-orang Indonesia yang melek sejarah bangsanya adalah sebuah tragedi, sebuah tahun yang mencekam dan menakutkan, sebuah fase transisi pemerintahan yang membara. Meski penyebabnya sangat kompleks, bahkan masih abu-abu karena diliputi oleh ketidak jelasan, dan kontroversial hingga saat ini, bukan berarti apa yang terjadi pada saat itu bisa dihapus dan dibuang begitu saja ke tempat sampah hingga terlupakan oleh bangsa ini. Kerusuhan ini diawali oleh Krisis Finansial Asia yang berkembang semakin buruk dan cepat hingga dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat dunia usaha. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara. Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS. Peristiwa ini juga terkenal dengan istilah “krismon” yaitu sebuah akronim dari Krisis Moneter. Dan selain karena peristiwa tersebut kerusuhan Mei 1998 juga dipicu oleh tragedi penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam sebuah aksi demonstrasi damai yang menuntut penurunan harga di Jakarta,  pada 12 Mei 1998. Kemudian hal ini berujung pada reaksi keras dari masyarakat dan berbagai elemen mahasiswa dari berbagai daerah yang berujung pada tuntutan penurunan takhta sang penguasa orde baru yang telah memimpin negara tercinta ini 32 tahun lamanya, Soeharto. 13-15 Mei merupakan puncak dari amarah atau titik kulminasi depresi rakyat terhadap krisis ekonomi Indonesia. Rakyat sebenarnya menuntut sebuah reformasi namun sayangnya hal ini berujung pada sebuah kerusuhan besar bersama dengan tindakan-tindakan anarkisnya rakyat. Meskipun ada dugaan mengenai ditungganginya peristiwa ini namun sampai saat ini masih terlalu banyak versi dan masih menjadi sebuah polemik klasik bagi bangsa ini. Suasana Jakarta yang tegang pasca kerusuhan 13-15 Mei ini terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya di gedung DPR/MPR pada 19 Mei 1998. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya presiden Soeharto , menggelar sidang istimewa MPR, dan pelaksanaan reformasi. Setelah aksi besar tuntutan reformasi dari mahasiswa dan rakyat. Aksi di gedung DPR/MPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru dan menyongsong Era Reformasi yang berjalan hingga saat ini di Indonesia. 

Semoga peristiwa ini menjadi sebuah buku pembelajaran dan cermin besar bagi bangsa yang memiliki jargon bhinneka tunggal ika ini. Semoga jargon bernada pluralisme tersebut bukan sekedar jargon semata yang hanya dihafal susunan huruf, kalimat, ataupun bunyi katanya saja, tapi juga benar-benar dimanifestasikan oleh seluruh penduduk di Indonesia yang memang sudah majemuk baik suku maupun budaya sejak dahulu kala. Peristiwa ini pastinya menimbulkan sebuah luka mendalam bagi para pihak yang menjadi korban namun biarlah luka itu menjadi luka lama yang mengering seiring berjalannya waktu hingga membentuk sebuah bentuk fisik yang baru dengan keadaan yang lebih baik dan lebih kuat. Sebuah pribahasa legendaris di Indonesia sendiri mengatakan bahwa “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, maka bersatulah wahai Indonesia niscaya kita akan menjadi sebuah bangsa yang kokoh dan kuat. 


ditulis oleh: Hujan Sutedja

4 comments:

  1. Mantap ! Tp demokrasi dan pluralisme skrg sudah dicederai dgn skelompok orang yg mengatas namakan agama sbg bahan politik utk mendapatkan kekuasaan . indonesia skrg kkurangan sosok" pemersatu sperti Alm Gusdur , semoga tragedi 98 yg brbau SARA jgn smpai terulang

    ReplyDelete
  2. Mantap ! Tp demokrasi dan pluralisme skrg sudah dicederai dgn skelompok orang yg mengatas namakan agama sbg bahan politik utk mendapatkan kekuasaan . indonesia skrg kkurangan sosok" pemersatu sperti Alm Gusdur , semoga tragedi 98 yg brbau SARA jgn smpai terulang

    ReplyDelete